Kamis, 29 Maret 2012

resensi buku


MAISAROH
09410082
Judul Buku      : Seni Dalam Peradaban Islam
Pengarang       : M.Abdul Jabbar Be. M.A.,Ph.D
Penerbit           : Pustaka  Bandung
Tahun Terbit    : 1988
KEINDAHAN MENURUT AL-GHAZALI
Tulisan ini dibuat sebagai sumbangan kecil di lapangan ilmiah. Tulisan ini tidak lebih dari suatu ikhtisar yang sistematis. Meskipun demikian, sumber yang dipergunakan di sini sungguh penting untuk mnegantar kearah pemahamantentang sikap zaman pertengahan terhadap keindahan. Dalam ulisan al-Ghazali, kita mesti menjelaskan bahwa al-Ghazali sebagai seorang sufi ia tidak mempunyai minat khusus terhadap seni. Perhatiannya terutama tertuju kepada hakekat alam rohaniah, sedangkan keadaan yang bersifat material pada umumnya hanya di singg ung sejauh hal itu penting bagi tubuh. Kendaraan bagi jiwa dalam perjalanannya menuju akhirat. Ia menyatakan “hanya ada tiga kebutuhan material yang pokok: sandang, pangan, papan.
Sangat kecil sekali kemungkinannya bahwa suatu kali lita dapat menemukan pernyataan seni rupa yang terperinci dalam karya-karya al-Ghazali. Ia selalu memandang masalah itu dari sudut pandangan yang teologis. Meskipun sejauh ini al-Ghazali nampak tidak memberikan suatu peranan yang aktif terhadap seni dalam sistem keagamaan, tetapi ia sepenuhnya menyadari peningnya keindahan dan hal-hal yang ilmia. Salah satu dasar yang sring diulang dalam kalimat-kalimat pengkajiannya, adalah satu hal, ketika ia bicarakan tentang hubunagn antar cinta dan kesenangan: “ setiap yang dilihat yang membari kesenangan dan kepuasan cinta oleh orang yag melihatnya”.
Dengan dasar pendapat demikian, maka wajarlah apabila al-Ghazali menarik kesimpulan bahwa segala sesuatu yang indah itu dicinta, karena keindahan itu memberi kesenangan. Sebagaimana yang nampak kamudian, bahwa keindahan itu seiring dengan kesempurnaan. Obyek cinta yang paling utama bagi setiap makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan egonya. Cinta diri ini menjelmakan dorongan untuk menjaga keberadaan dirinya dan ketidakrelaan melihat dirinya yang rusak dan menderita. Cinta diri dalam pengertian yang luas bukanlah sekedar cinta pada anak, sanak kerabat dan sahabat-sahabat, tetapi juga pada milik pribadi.
Selanjutnya al-Ghazali memberikan kepada kita suatu sudut pandangan lain tentang cinta kepada keindahan yang bukan berasal dari cinta diri tetapi berasal dari keindahan itu sendiri. Penyebab cinta yang lain adalah ketika seorang mencintai sesuatu untuk sesuatu itu sendiri, dan bukan karena keuntungan yang ia harapkan memperolehnya melalui sesuatu itu. Dari pemikiran ini, selanjutnya penulis menujukkan bahwa keindahan tuhan mengarahkan seseorang untuk mencintai dia.
Al-Ghazali menantang pendapat bahwa keindahan hanya terbatas pada apa yang dapat dilihat mata atau apa yang semata berkenaan dengan keselarasan tubuh manusia dan warna muka yang indah. Dalam langkah selanjutnya, al-Ghazali menemukna penyebut umum bagi beragam jenis keindahan dalam bermacam contoh yang telah ia rekam secar acak. Tetapi pada akhirnya, al-Ghazali memberikan inti pemikirannya ini dalam catatannya yang mengatakan: keindahan dari suatu hal terletak pada penampakan kesempurnaan yang dapat dilihat, dan sesuai dengan fitrahnya. Apabila seluruh kemungkinan sifat kesempurnaan terdapat dalam suatu obyek, maka obyek itu menjelmakan tingkat keindahan tertinggi apabila hanya terdapat sebagian saja maka obyek itu memiliki ukuran keindahan dalam tingkat kesempurnaan tertentu.
Terlepas dari nilai keindaha yang dapat diterima dengan kelima indera kita, al-Ghazali menyebutkan adanya indera keenam yauti jiwa juga disebut roh, hati, dan akal, cahaya yang menerima keindahan dunia dalam yang bersifat rohani, moral, dan nilai keagamaan. Visi dalam lebih kuat dari pada visi luar, hati lebih peka dalam melakukan perencanaan daripada mata. Dan keindahan obyek yang ditangkap melalui akal, lebih tinggi daripada keindahan bentuk luar yang nampak oleh mata.  Barang siapa tidak memiliki visi dalam, ia tidak dapat menangkap bentuk dalam, dan ia tidak dapat memperoleh kesenangan daripadanya. Cintailah dia dan bergeraklah kea rah itu.
Terdapat perbedaan yang besar antara seorang yang mencintai gambar lukisan di dinding hanya karena keindahan yang luarnya. Dan seseorang yang mencintai Nabi dikarenakan keindahan bentuk dalamnya. Pada akhirnya cinta kepada dunia luar yaitu dunia wujud secara moral bersifat netral, karena hal itu merupakan suatu cinta yang alamiah, sekedar dorongan jiwa. Karaya yang indah dari seorang penulis, syair yang sublime dari seorang penyair, lukisan atau bangunan karya arsitek, menampakkan keindahan dalam menusia itu.
Menurut al-Ghazali keindahan dalam orang yang bertakwa terletak pada tiga prinsip dasar pertama pengetahuan, kedua daya kesanggupan dan yang ketiga kamulian yang dapat mengatasi kesalahan dan kekurangan dan segala kecenderungan jahat. Semakin sempurna manusia ini semakin besarlah ia dicintai. Karena pengetahuan, daya kesanggupan dan kemulian yang mengatasi kesalahan hanya dapat ditemui secara sempurna pada Allah, dank arena manusia memperoleh bentuknya dia. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa cinta yang berasal dari ungkapan keindahan dalam seniman yang sempurna, mengarah kepada Allah. Mereka yang mempelajari susunan tubuh manusia hanya untuk menjadi dokter. Ilmu kedokteran betapapun tidak penting dan meskipun sangat perlu tidak berhubungan langsung dengan ibadah kepada tuhan. Maka bagi mereka yang bermaksud menyaksikan keajaiban pekerjaan tuhan pada tubuh manusia akan dinampakkan tiga sifat tuhan pertama mereka dapat menyaksikan bahwa yeng membuat tubuh ini adalah yang maha kuasa, kedua mereka dapat melihat bahwa pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, karena segala keajaiban benda-benda dengan segenap kepemilikikannya tidak mungkin ada, ketiga  mereka dapat menyaksikan bahwa sifat-sifat pengasih, penyayang, pengampun dan pemurah.
Oleh karena itu al-Ghazali menasihatkan tidak ada akal manusia yang dapat memikirkan tentang bagaimana dan apa dzat Allah yang maha mulia itu, tidak ada hati manusia yang berhenti dari memandang ciptaan-Nya yang ajaib dan merenungkan terhadap apa dan kepada siapa kehidupannya tergantung. Segala sesuatu yang ada mempunyai hubungan yang sama dengan kekuasaan Allah. Dengan begitu jelas bahwa bagi al-Ghazali, keindahan tidak dapat dipisahkan dari gagasannya tentang ketuhanan dan khususnya mengenai cinta kepada tuhan. Visi luar ini berdasarkan pada prinsip-prinsip estetis, seperti Nampak melalui kriteria yang ia sebut terhadap kaindahan suatu tulisan. Karena itu, kita tidak dapat mengabaikan bahwa disamping penekanannya yang kuat terhadap keindahan dalam dan visi dalam, pengkajian al-Ghazali juga menunjukkan dua pendekatan terhadap seni yaitu pendekatan yang beranjak dari mata dalam dan mata luar, yang bersifat religious dan yang lain bersifat sekular.